popcash

Monday, July 13, 2020

Biaya Resepsi Pernikahan Itu Sebenarnya Tanggungan Orang Tua Apa Anak? Inilah Penjelasannya



Biaya menjadi salah satu hal yang harus dipertimbangkan oleh calon pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan. Tidak sedikit pasangan yang memiliki kemampuan finansial untuk membiayai pernikahan mereka sendiri.

Meskipun demikian, tak sedikit pula orang tua ingin terlibat dalam membiayai pernikahan anaknya. Sebenarnya, siapakah yang bertanggung jawab dengan biaya pernikahan itu?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz, Saya dan pasangan adalah pribadi yang bisa dibilang cukup matang untuk menikah. Kami telah merencanakan pernikahan. Secara mental kami siap, namun ada faktor lain yang membuat kami menangguhkan rencana tersebut. Kami belum memunyai dana yang cukup.

Kami tidak ingin pernikahan kami dibiayai oleh orang tua, karena satu dan lain hal, meski pada akhirnya orang tua ikut andil untuk membiayainya.

Kami mencoba mencari jalan lain, yaitu dengan mengajukan pinjaman ke bank. Namun, tidak disetujui oleh pihak bank dan hanya harapan kosong yang kami dapat.

Kami bingung harus menempuh jalan apa lagi. Yang kami takutkan adalah kami tidak mampu menjaga satu sama lain hingga kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Mohon bantuannya ustadz, solusi apa yang harus kami tempuh, untuk bisa menjaga hubungan ini hingga waktu yang kami nantikan tiba. Terima kasih.

Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Untuk menikah sebenarnya boleh dikatakan tidak dibutuhkan biaya besar. Mahar atau maskawin juga tidak perlu besar-besar.

Dahulu ada salah seorang sahabat Nabi saw. yang maskawinnya “hanya” berupa hafalan surah pendek di dalam al-Qur’an. Bukan emas, bukan perak! Bukan juga cincin besi! Prinsipnya, agama tidak bermaksud memberatkan atau menyulitkan pemeluknya.

Yang mungkin perlu biaya besar adalah pesta atau resepsi perkawinannya. Dalam hal ini pun Rasulullah saw. tidak menganjurkan untuk dilaksanakan secara besar-besaran, tetapi cukup sesuai kemampuan.

Awlim wa lau bi shâh (adakanlah walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing). Jadi yang terpenting adalah melaksanakan walimah sebagai tanda syukur dan pemberitahuan kepada khalayak umum, bukan pesta yang memaksa dan membebani diri sendiri atau pihak keluarga.

Tetapi kalau memang secara keuangan Anda merasa belum mampu untuk menikah meskipun dengan kemudahan dan keringanan seperti yang saya sebutkan di atas Anda sebaiknya jangan memaksa menikah.

Anda masih harus menahan diri antara lain dengan cara berpuasa sunnah. “Dan barang siapa belum mampu (menikah), hendaklah ia berpuasa, karena puasa merupakan benteng/perisai baginya (agar tidak berbuat maksiat)”. Demikian pesan Nabi saw. kepada pemuda yang belum mampu menikah.

Catatan saya, kalau dengan mahar yang ringan masing-masing keluarga calon mempelai tidak merasa keberatan, laksanakanlah nikah dengan mahar yang ringan dan tidak memberatkan, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam hal Anda tidak menikah, seperti Anda singgung.

Untuk walimahnya pun, adakanlah yang sederhana, sekadar pemberitahuan kepada keluarga dekat atau tetangga dekat yang tidak memerlukan biaya besar.

Tetapi, sekali lagi, ini perlu dibicarakan oleh keluarga kedua belah pihak.

Kalau itu pun masih berat, Anda memang harus menunda. Jika ini yang terjadi, selain berpuasa, saran saya Anda berdua harus mengurangi volume kontak langsung, apalagi berdua-duaan, agar tidak terjerumus oleh setan yang selalu menggoda.

Di dalam al-Qur’an jelas sekali ada tuntunan bahwa kita dilarang mendekati zina. Sungguh amat banyak perbuatan yang dapat dimasukkan dalam kategori “mendekati zina”.

Biaya Pernikahan, Tanggungan Siapa?
Menurut Perencana Keuangan Lisa Soemarto, orangtua memiliki kecenderungan untuk membiayai pernikahan anaknya. Namun, Anda dan calon pasangan perlu juga melihat bagaimana kondisi keuangan orangtua saat itu.

Misalnya, orangtua sudah pensiun dan dana yang mereka miliki tidak cukup bila seluruhnya dipakai untuk biaya pernikahan.

Pertimbangkan pula bila Anda masih memiliki adik yang memerlukan biaya pendidikan dan sebagainya. Jika kondisi keluarga tidak memungkinkan, hindari memaksakan mereka agar tetap mewujudkan impian pernikahan Anda.

“Tidak fair juga kan kalau terlalu mengharapkan orangtua. Jadi, kalau memang anak sudah memiliki kemampuan uang sendiri, sebaiknya menyiapkan dana sendiri,” tambah Lisa.

Financial Planner, Freddy Pieloor, CFP, menjelaskan bagaimana semestinya pasangan memutuskan biaya pesta pernikahan.

Kesepakatan Bersama
Banyak pertanyaan yang dilontarkan dan pernyataan yang disampaikan atas kewajiban membayar biaya pernikahan. Ada yang bilang bahwa biaya pernikahan dibayar oleh mempelai pria dan keluarganya.

Namun ada juga yang berkata bahwa justru sang mempelai perempuan dan keluarganyalah yang harus membayar biaya pernikahan tersebut.

Apakah ada tertulis dalam Undang-Undang atau peraturan negara yang menyatakan bahwa biaya pernikahan dibebankan kepada seseorang atau sebuah keluarga saja?

Apakah ada ayat dalam kitab suci agama yang menegaskan bahwa biaya itu wajib dibayar oleh pihak tertentu? Atau ada adat budaya secara tertulis menyatakan siapa yang harus membayar biaya pernikahan?

Seperti yang Anda ketahui bahwa pernikahan adalah sebuah kesepakatan dan komitmen dari kedua belah pihak, Anda dan si dia. Sehingga selayaknya biaya yang akan timbul ditanggung bersama.

Sesuai Kemampuan
Perlu dicatat bahwa pernikahan yang elegan adalah pernikahan yang tidak dipaksakan dalam segala sudut. Termasuk dalam biaya pernikahan.

Maksudnya adalah biaya pernikahan yang dibayarkan haruslah sesuai dengan kemampuan kedua belah pihak. Tidak berutang dalam menyelenggarakan pesta pernikahan.

Pernikahan ini adalah penyatuan dua pribadi menjadi sebuah keluarga inti baru, dan pesta pernikahan yang akan diselenggarakan layaknya atas inisiasi dan kehendak yang menikah.

Keluarga besar (ayah dan ibu masing-masing pihak) hanya memberikan dukungan, dan bukan memaksakan gaya dan tata cara pernikahan sebuah adat yang membutuhkan biaya besar.

Sebuah pernikahan adalah sebuah kebahagiaan yang alami dan bukan sesuatu yang dipaksakan. Sehingga hendaknya sebuah pesta pernikahan pun dilakukan secara natural sesuai dengan kemampuan dari kedua belah pihak pengantin.

Freddy menyarankan jangan mengadakan pesta pernikahan dari berutang. Hal ini hanya akan memberatkan awal perjalanan dan keuangan keluarga yang baru dibangun.

Tentunya Anda tak ingin melanjutkan suasana menyenangkan di pesta pernikahan, dengan penderitaan bertahun-tahun lantaran menanggung utang, bukan?

Hal senada juga disampaikan oleh Psikolog Anna Surti Ariani, S.Psi.M.Si. Menurutnya, biaya pernikahan lebih baik disepakati bersama. Kesepakatan tersebut harus dibicarakan secara terbuka dan asertif. Sikap yang asertif berarti mengemukakan semua pikiran Anda secara terbuka tanpa menyakiti orangtua.

Hindari bersikap agresif atau submisif saat berdiskusi dengan orangtua. Sikap agresif merupakan sikap menunjukkan keterbukaan, namun dengan cara menyakiti orang lain.

Sebagai contoh, saat orangtua menuntut banyak hal dalam pernikahan, Anda langsung marah-marah mengungkapkan ketidaksetujuan tanpa mendengarkannya dahulu. Ini tentu bisa melukai perasaan mereka.

Sementara itu, submisif berarti tidak berani mengemukakan pendapat sebab khawatir menyakiti atau mengecewakan orang lain. Dalam hal ini, Anda merasa lebih baik memendamnya sendiri. Misalnya, Anda lebih baik berhutang karena biaya pernikahan di luar budget akibat memenuhi segala permintaan orangtua.

Ini juga tidak baik. Selain merugikan diri sendiri, orangtua akan kecewa ketika tahu Anda berhutang demi keinginan mereka. Selain itu, biaya yang diperlukan selepas pesta pernikahan jauh lebih penting, misalnya untuk tempat tinggal.

Sumber: wajibbaca.com

No comments:

Post a Comment